Ted Kennedy dan Bayang-Bayang Dua Kematian

Ketika pada tahun 1849 seorang petani, Patrick Kennedy, memutuskan untuk berlayar meninggalkan tanah leluhurnya di Irlandia menuju Boston, Amerika Serikat, mungkin ia tak menyangka anak keturunannya akan mewarnai dunia politik Amerika dalam rentang waktu hampir satu abad. Begitu pula, Ted Kennedy mungkin tak pernah manyangka bahwa pada dasawarsa 1960an tiba-tiba saja ia berada dalam situasi yang tak terhindarkan: menggantikan peran JFK dan RFK di panggung politik Amerika yang rumit.


“Kakak saya tidak perlu diagung-agungkan melebihi apa yang telah ia capai dalam hidupnya. Ia cukup dikenang sebagai orang baik, yang melihat hal yang salah dan mencoba untuk meluruskannya, melihat penderitaan dan mencoba untuk memulihkannya, melihat peperangan dan mencoba untuk menghentikannya.”

Suara Ted Kennedy bergetar ketika mengucapkan itu pada suatu pagi yang mendung di New York, 8 Juni 1968. Di hadapannya ribuan pelayat duduk terdiam di katedral St Patrick dengan wajah-wajah sedih sementara ribuan lainnya tertahan di luar, memenuhi jalanan New York membawa simpati dan duka cita mereka.

Hari itu Ted mewakili keluarga Kennedy menyampaikan eulogi perpisahan bagi kakaknya, Robert Francis Kennedy, yang kini terbaring di peti mati di hadapannya.

Beberapa hari sebelumnya, sedikit lewat tengah malam, Ted bersama asistennya David Burke baru saja kembali ke hotel selepas mengikuti suatu kegiatan di San Fransisco. Kegiatan itu merupakan bagian dari rangkaian kampanye pencalonan Bobby (begitu Robert Kennedy biasa dipanggil) untuk posisi presiden Amerika Serikat. Bobby sendiri tidak bersama Ted malam itu, ia berada di bagian lain Amerika, California, untuk mengikuti pemilihan pendahuluan (primary), sebuah mekanisme untuk memilih kandidat calon presiden di internal partai Demokrat.

Sesampainya di hotel Ted menyalakan televisi untuk melihat hasil primary yang diikuti Bobby. Alih-alih mendapatkan informasi tentang hasil primary, ia justru mendapati berita teve yang menampar: Bobby baru saja ditembak, keadaan di sana sangat kacau, dan Bobby dilarikan ke rumah sakit Good Samaritan dengan tiga luka tembak fatal.

Pada masa itu Bobby sudah memanangkan beberapa pemilihan pendahuluan dan punya prospek yang bagus untuk terus melaju sebagai kandidat presiden. Ia amat disukai para pemilih, terutama mereka yang berasal dari golongan minoritas seperti kaum kulit hitam, hispanik, kaum miskin dan orang-orang dengan disabilitas. Pesan kampanyenya jelas, ia memberi penekanan pada perdamaian, hak asasi manusia dan sikap anti diskriminasi.

Sikap politik Bob seperti oase di tengah konteks politik Amerika saat itu. Eskalasi perang dingin meningkat, di Vietnam mereka terlibat perang berlarut-larut yang berakibat pada penderitaan berbagai pihak, termasuk serdadu Amerika sendiri dan rakyat sipil Vietnam. Sementara di dalam negeri, Amerika tengah dihantam isu segregasi ras: bebarapa negara bagian di selatan memberlakukan aturan pemisahan rasial terang-terangan antara kulit putih dan kulit hitam, yang masih meninggalkan bekas bahkan lama setelah berbagai aturan rasis itu dicabut.

Dalam rangkaian kampanye inilah Ted memainkan peran penting sebagai manajer. Ia turut berperan dalam kemenangan-kemenangan Bobby di Indiana, District of Columbia, Nebraska hingga terakhir California, sesaat sebelum Sirhan Sirhan menembakkan delapan peluru di hari nahas itu.

Lebih dari sekadar ikatan darah saudara kandung, Ted mendukung Bobby habis-habisan karena mereka memiliki pandangan politik yang sama dalam banyak hal. Mereka sama-sama menyerukan penarikan tentara Amerika Serikat dari Vietnam, mengakhiri segala bentuk diskriminasi ras, memperjuangkan sistem kesehatan yang terjangkau rakyat miskin dan membela hak-hak kaum buruh. Maka tak heran jika kematian Bobby sangat melumpuhkan Ted, walaupun pada hari pemakaman ia berusaha menyembunyikan hal itu dengan bersikap tegar.

Jenasah Bobby diberangkatkan dengan kereta api dari New York menuju Washington, tempat ia akan dimakamkan di Arlington National Cemetary. Perjalanan yang biasanya hanya memerlukan waktu empat jam kini menghabiskan waktu delapan jam lebih. Kereta harus berjalan lambat-lambat karena sepanjang jalan ratusan ribu hingga jutaan orang berdiri di pinggir rel untuk memberikan penghormatan terakhir: tua muda, hitam putih, kaya miskin. Mereka baru sampai ke Washington setelah gelap malam.

Sebagai pelanjut keluarga politik Kennedy, Ted kini benar-benar sendirian. Ia sekaligus menjadi ayah bagi anak-anak yang ditinggalkan kakaknya. Baru berselang lima tahun sebelumnya kakaknya yang lain, John Fitzgerald Kennedy, tewas ditembak pada 22 November 1963, saat melakukan kunjungan kepresidenan ke Dallas.

Sejarah kemudian mencatat bahwa Ted bisa dibilang berhasil. Berbeda dengan kedua kakaknya, ia hidup relatif lebih lama dan meninggal karena penyakit, bukan ditembak. Ia selalu dipercaya untuk terpilih menjadi anggota Senat mewakili negara bagian Massachusetts sejak 1962 hingga kematiannya pada 2009. Berbeda dengan negara-negara Eropa, Amerika Serikat memiliki Senat yang powerful: sebuah lembaga legislatif yang paling berpengaruh di negara itu. Selama kurang lebih 37 tahun Ted berkiprah di Senat, ia telah mencapai banyak hal hingga membuat rekan-rakannya menjulukinya “Lion of the Senate” dan “Master Legislator.”

Ia turut berperan penting dalam pembentukan banyak Undang-Undang, termasuk Undang-Undang hak sipil tahun 1964, UU hak memilih tahun 1965, UU asuransi kesehatan anak 1982, UU penyandang disabilitas 1990 dan puluhan Undang-Undang lain yang ikut berpengaruh bagi manusia yang hidup di bawah langit Amerika Serikat.

Tentu saja Ted juga bukan sosok yang tanpa cela. Ia telah mengalami pasang surut kehidupan sepanjang hidupnya: insiden Chappaquiddick, perceraian dengan isterinya, skandal dengan para wanita, juga kegagalannya yang memalukan saat awal pencalonan presiden tahun 1980. Tetapi setiap kali jatuh, ia berusaha bangkit lagi dan semakin tua tampaknya ia semakin matang dan dewasa, satu dekade menjelang kematiannya bisa dibilang ia tak pernah terlibat lagi dengan skandal apapun.

Ted merupakan orator ulung. Salah satu pidatonya yang paling dikenang adalah saat ia mengakui kekalahan dari Jimmy Carter dalam pemilihan internal calon presiden dari partai Demokrat:

“For me, a few hours ago, this campaign came to an end. For all those whose cares have been our concern, the work goes on, the cause endures, the hope still lives and the dream shall never die.”

Sebuah Pohon Besar di Pemakaman

Suatu sore saya menghadiri pemakaman ibu dari seorang rekan kerja yang wafat. Dari kantor, kami berangkat berombongan menggunakan sepeda motor. Rupanya kami terlambat, sesampainya di sana pemakaman baru saja usai. Untunglah rekan kerja kami itu belum lagi pulang. Suasana tempat pemakaman cukup sepi, hanya ada satu keluarga yang sedang ziarah di sebuah makam yang lain. Matahari temaram, tidak hujan tetapi juga tidak cerah benar. Sebuah pohon besar berdiri anggun, menaungi banyak makam. Melihat dari ukurannya, sepertinya pohon itu sudah ada di sana sejak lama, menjadi saksi kisah duka yang datang silih berganti.

Continue reading

Sepotong Salman dan Segelas Yoghurt

Suatu pagi yang berkabut di kantin Salman.

Pagi itu begitu sepi. Seperti yang sering saya lakukan setiap kali berkunjung ke sini, saya mengambil segelas es yoghurt, membayarnya, kemudian membawanya ke sebuah tempat duduk di sudut, tempat di mana saya bisa leluasa melihat sekeliling ruangan sambil memandang ke luar lewat jendela, pada barisan pohon tinggi di taman ganesha yang anggun berayun.

Continue reading