Memoar dari Negeri Seberang

https://i0.wp.com/pds.exblog.jp/pds/1/200606/08/26/a0054926_8525356.jpg

Awalnya adalah suatu sore di Jakarta. Waktu itu saya sedang menemani Ibu yang sedang menjaga stand buku di sebuah pameran besar. Saya berjalan-jalan untuk melihat-lihat berbagai macam buku yang ada di sana lalu menghampiri sebuah stand penerbit dan tertarik dengan buku berjudul Melintasi Dua Jaman: Kenangan tentang Indonesia Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan. Saya membelinya, dan ternyata kisah di buku itu sangat menarik.

Buku ini ditulis oleh (dan bercerita tentang kehidupan) Elien Utrecht, seorang Indo Belanda yang pernah tinggal di Indonesia sebelum kemerdekaan, pindah ke negeri Belanda dan memutuskan untuk tinggal dan menjadi warga negara Indonesia setelah kemerdekaan walau akhirnya situasi memaksanya untuk kembali ke Belanda.

Ia lahir pada awal tahun 1920an (tidak disebutkan secara detail di buku ini)  di Wonosobo, di lingkungan pabrik gula. Ayahnya adalah pegawai pabrik gula Belanda yang dituturkan oleh Elien “berlatar belakang campuran Belanda-Indonesia” sementara Ibunya adalah orang Belanda. Ia sempat berpindah-pindah sekolah, mengikuti penempatan tugas ayahnya. Kehidupan berjalan normal baginya hingga awal tahun 1940-an, ketika Jepang mulai meluaskan agresinya di Asia-Pasifik. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah di Malang, ia pergi ke Jakarta untuk mengikuti kursus menjadi sekretaris pribadi. Suasana sudah tak menentu karena Jepang semakin mendekat (lubang perlindungan, latihan dengan bunyi sirine, dan penggelapan lampu di kota waktu malam).

Pada malam tanggal 27 Februari 1942, atas desakan keras orangtuanya, Elien pulang dengan kereta api ke Surabaya. Malam itu, kata Elien, juga merupakan kekalahan Belanda dari Jepang di pertempuran laut Jawa. Sekitar seminggu kemudian, orang-orang Jepang mulai hadir di lingkungan Elien, dan mulailah ia menghadapi fase baru kehidupannya. Setelah masa-masa pendudukan Jepang yang keras, pada April 1946 ia dan keluarganya berhasil kembali ke Belanda.

Di negeri Belanda, Elien mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Univesitas Leiden. Di sanalah ia bertemu dengan Ernst Utrecht, mahasiswa hukum yang kemudian menjadi suaminya. Di kemudian hari Ernst malang melintang menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi tanah air. Ia juga merupakan aktivis sayap kiri PNI, sempat menjadi anggota konstituante dan menjadi penasihat presiden Soekarno.

Pada  Januari 1950, putri tunggal mereka Artien Utrecht lahir.

Salah satu fase penting dari kehidupan mereka adalah ketika pada tahun 1952 mereka berdua memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia. Dilihat dari situasi saat itu, keputusan untuk tinggal dan menjadi warga negara Indonesia adalah sesuatu yang memiliki resiko tinggi. Baik keluarga Ernst maupun Elien sama-sama menentang keputusan mereka namun mereka tetap bersikeras.

Tanggal  21 Juni 1952 mereka sampai di Jakarta dengan menumpang kapal laut. Buku ini sebagian besar bercerita tentang masa-masa mereka tinggal di Indonesia hingga tahun 1970, ketika mereka akhirnya terpaksa meninggalkan Indonesia. Sebuah keputusan yang menurut Elien merupakan “kekalahan” namun terpaksa dilakukan demi keselamatan mereka, terutama untuk Artien dan masa depannya. Di rentang waktu 1952 hingga 1970 itu begitu banyak yang terjadi.

Mereka mulai dari Malang, sebuah tempat sejuk di mana Ernst menjadi dosen di “Kursus Dinas C” Departemen Dalam Negeri. Kemudian mereka berpindah-pindah ke beberapa kota namun paling lama tinggal di Bandung (Artien sekolah SD di kota ini dan sempat kuliah di arsitektur ITB). Salah satu hal yang dianggap Elien menjadi bagian menyenangkan dalam kehidupan mereka di Indonesia adalah saat mereka bisa menjelajah banyak tempat di negeri ini, termasuk melakukan banyak perjalanan liburan (Elien menggambarkan ini sebagai ciri khas kehidupan mereka: “Jarang memiliki kantong tebal, walau banyak melakukan perjalanan”). Ernst juga memiliki posisi yang baik di PNI bahkan menjadi anggota Konstituante dan Penasihat Soekarno. Selain itu ia juga memberi banyak kontribusi intelektual melalui tulisan-tulisannya termasuk Pengantar Ilmu Hukum yang menjadi buku wajib di banyak Universitas.

Di sisi lain, kehidupan tak selalu mudah buat mereka. Situasi politik saat itu, terutama sekitar tahun 1965, semakin tak menentu. Pandangan Ernst yang kiri, sekular dan anti kekuasaan militer (dan ia kemukakan dengan terang-terangan) semakin menyulitkan dia. Pada 19 Agustus 1965, sebuah mobil memasuki rumah mereka. Seorang lelaki berpakaian sipil berbicara di kamar depan dengan Ernst, Elien meminta pembantu menghidangkan dua gelas air jeruk kepada kedua orang itu. Setelah itu Ernst ditahan. Itu bukan merupakan penahanan pertama bagi Ernst, dan bukan yang terakhir.

Setelah pergantian kekuasaan dari orde lama ke orde baru, masalah mereka semakin pelik. Ketika Ernst pada 1969 berada di Belanda, ia terus menerus melancarkan kritik terhadap pemerintahan lewat tulisan-tulisannya di media. Hal ini membuat posisi Elien dan Artien di Indonesia semakin riskan. Paspor mereka di tahan. Setelah melewati perjuangan berbulan-bulan, akhirnya pada 30 September 1970, dengan pesawat New Caledonian Airlines dari Kemayoran mereka berdua bisa menyusul Ernst ke Belanda.

Buku ini ditulis Elien dengan menggunakan sudut pandang pertama, sehingga bisa disebut buku autobiografi. Dengan jeli ia merekam detail-detail penting kehidupan bangsa ini di masa itu dengan segala pernak-perniknya. Tentu saja ini adalah sudut pandangnya, dan kita bisa memiliki sudut pandang sendiri dalam berbagai hal dan tak menyetujui pandangan Elien. Akan tetapi, setidaknya buku ini bisa memperkaya wawasan dan pemahaman akan kehidupan dari sudut pandang orang lain.

Tempat tinggal mereka sewaktu di Bandung (di Jl Karangsari ) masih ada sampai sekarang bahkan tampaknya tak mengalami perubahan. SD GIKI Karangsari tempat Artien sekolah juga masih ada dengan nama yang sama, saya baru tahu setelah membaca buku ini bahwa GIKI adalah kepanjangan dari Gabungan Indo untuk Kesatuan Indonesia. Semasa kuliah, hampir setiap hari saya melewati rumah itu saat menuju kampus.

Setiap lewat di depan rumah itu saya teringat mereka.

sumbergambar: http://gadogado.exblog.jp/page/260/

Leave a comment